Kamis, Juni 26, 2008

Sekolah Para Monyet (Part III)

Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, dalam sebuah acara wisuda di salah satu Perguruan Tinggi di Amerika Serikat, berpesan kepada para wisudawan dengan kalimat yang menyentak. “Teruslah lapar. Teruslah bodoh.” Di Indonesia, guru bisnis saya, pak Bambang Mustari (kita lebih familiar memanggilnya Oom Bob Sadino) berkali-kali mengatakan bahwa kalau anda mau jadi pengusaha, anda harus bodoh dahulu.

Dua pentolan bisnis di atas bisa jadi tidak salah. Hanya orang bodoh yang masih mungkin punya minat belajar. Orang-orang pintar, dan merasa cukup dengan kepintarannya, biasanya sudah tidak mau belajar lagi. Mereka enggan melakukan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat kepintarannya. Mereka tidak mau melakukan hal-hal yang semestinya dilakukan oleh sebuah usaha baru. Sekolah sudah mendidik mereka untuk memilih jalur cepat dalam segala hal, termasuk dalam berwirausaha. Dan sekolah-sekolah wirausaha yang ada, mayoritas dihuni oleh jenis orang pintar seperti ini. Itu sebabnya, angka keberhasilannya sangat rendah.

Seorang alumni Institut Kemandirian, yang tidak pernah lulus SD, pernah menyatakan minatnya untuk belajar berbicara di depan publik. Ini penting baginya untuk mempresentasikan usahanya kepada orang banyak. Kendala yang dihadapi, adalah rasa percaya diri yang rendah, dan seringkali gugup ketika bertemu orang lain. Sudah menjadi kebiasaan kami, untuk menggunakan cara-cara yang tidak umum. Untuknya, saya perintahkan padanya untuk mencukur kumis. Bukan seluruhnya, tetapi hanya separuh.

Saya yakin, orang-orang pintar tidak akan mau melakukannya. Mereka lebih suka bersembunyi di balik aneka alasan, misalnya malu, gengsi dan sebagainya. Dan sebagainya. Acungan jempol harus saya arahkan kepada alumni IK yang satu ini. Ia berani melakukannya di depan para siswa yang masih belajar di IK.

Bukan itu saja. Saya perintahkan padanya untuk tidak mencukur kumisnya (yang masih tersisa) selama satu minggu. Selain itu, ia kami minta untuk sesering mungkin bertemu orang banyak, entah itu di dalam bus kota atau di mal. Dan, perintah itupun dilakukannya tanpa banyak tanya. Ia melakukannya seperti saya mengisi kolam di rumah guru mengaji ketika kecil dahulu.

Selang satu minggu, ia datang lagi. Satu alat cukur baru sudah tersedia untuk mencukur sisa kumisnya. Satu pertanyaan kami ajukan padanya. “Adakah komentar orang lain ketika melihat kumismu hanya sebelah ?” Ia menjawab dengan kalimat yang sudah kami duga sejak awal. “Tidak ada komentar pak. Mereka seolah tidak peduli dengan kumis saya.”

“Apakah pembicaraan kamu ditanggapi ?”

“Ditanggapi pak. Waktu saya tawarkan selembar brosur usaha saya, mereka kebanyakan mau membacanya. Bahkan seminggu ini ada tiga calon mitra usaha yang tertarik.”

Pembicaraan itu kami tutup dengan satu kesimpulan. Seringkali orang tidak peduli dengan ganteng tidaknya wajah anda. Mereka lebih peduli dengan apa yang anda tawarkan. Kalau demikian, nggak perlu malu dengan wajah ’ndeso. Fokuslah pada isi pembicaraan. Dan kesimpulan itu membuatnya lebih percaya diri. Kini, ia dengan nyaman bisa berbicara di depan publik, nyaris tanpa hambatan. Uniknya, kebanyakan audiensnya adalah orang-orang pintar bergelar sarjana S1, S2, S3 bahkan profesor.

Ini memang kesimpulan sementara. Sebuah sekolah, termasuk juga sekolah wirausaha, membutuhkan dua hal. Dari sisi seorang guru, dibutuhkan kesabaran dan kebijakan dalam memberikan tugas atau perintah kepada muridnya. Tidak ada perintah dengan maksud ’ngerjain’. Dari sisi seorang murid, setidaknya ia bersedia menerima dan melaksanakan perintah gurunya dengan disiplin dan penuh tanggung jawab, untuk kepentingannya sendiri. Kesabaran dan kebijakan seorang guru, bersinergi dengan disiplin dan tanggung jawab seorang murid, memperbesar peluang keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Sekolah monyet di Surat Thani dan Prajamusti, atau sekolah manusia di Institut Kemandirian, sedikit banyak sudah membuktikannya.


Minggu, Juni 22, 2008

Sekolah Para Monyet (Part II)

Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah jelasnya tujuan. Setiap siswa di sekolah monyet memang tidak tahu untuk apa mereka disekolahkan. Para induk semang merekalah yang tahu persis, kompetensi seperti apa yang diinginkan. Di Surat Thani, para siswa diharapkan untuk bisa memilih dan memetik buah kelapa yang sudah masak dalam jumlah tertentu pada satuan waktu tertentu. Di Prajamusti, setiap alumni dipastikan mampu memainkan peran sebagai pengemudi sepeda motor, pedagang di pasar, berdandan dan sebagainya.

Saya dibesarkan dalam kultur Betawi yang sangat kental, dimana nilai-nilai penghormatan terhadap guru merupakan hal yang sangat sakral. Titah guru pantang dibantah. Itu sebabnya ketika kecil, saya, juga teman-teman lain, secara sukarela mengisi bak kamar mandi di rumah guru mengaji kami, sebelum belajar mengaji. Mungkin hal itu yang membuat nilai penghormatan saya kepada setiap guru yang pernah memberikan pelajaran menjadi demikian tinggi. Bagi saya pribadi, tidak ada bekas guru.

Ketika liburan kuliah dahulu, saya pernah menyempatkan diri untuk nyantri di sebuah pesantren di daerah Bangkalan Madura. Di sana, agaknya pimpinan pondok cukup paham tentang apa yang saya pelajari dalam kuliah. Dalam keseharian, saya hanya diminta untuk 'ngurusi' sapi-sapi milik pondok. Boleh dikata, dalam waktu satu bulan nyantri, hanya sedikit waktu yang saya isi dengan mengaji. Hanya waktu antara Maghrib dan Isya yang diisi dengan mengaji. Itu pun tidak penuh karena pak Kiai rajin memenuhi panggilan pengajian.

Pernah terlintas dalam pikiran, untuk apa 'ngurusi' sapi di pesantren ? Ke sini kan mau belajar agama lebih dalam ? Kalau cuma mau ngurusi sapi, di kampus juga banyak ......

Tapi begitulah. Klausul awal saya nyantri di situ adalah menerima apapun yang diberikan oleh pak Kiai. Dan itu harus saya patuhi, atau saya angkat kaki. Dan saya memilih untuk terus ngurusi sapi. Sampai akhir masa pendidikan, saya tidak banyak belajar. Saya hanya dapat satu ayat yang sampai sekarang masih saya hafal. Hanya satu ayat. Ayat itu berarti : Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka baginya jalan keluar (dari berbagai masalah). Dan Allah akan melimpahkannya dengan rejeki dari tempat yang tidak disangka-sangka (Ath-Thalaaq : 2-3).

Setelah belasan tahun ilmu satu ayat itu terlupakan, suatu ketika saya seperti disadarkan. Dan setelah saya amalkan, alhamdulillah, boleh dikata, apa yang saya inginkan sejak saya kuliah dahulu, hanya tinggal satu atau dua saja yang belum terkabul. yang lainnya, bukan hanya terkabul, tetapi melebihi apa yang saya inginkan. Dan saya yakin, dengan seluruh keyakinan yang ada pada diri saya, semua itu saya dapat karena izinNya melalui kepatuhan sepenuhnya kepada sang guru.

Soal disiplin dan tujuan, sekolah monyet dengan sekolah wirausaha (di Institut kemandirian) nyaris tidak berbeda. Keduanya sekolah itu memiliki pola disiplin yang cukup ketat, sekaligus tujuan yang jelas. Sekolah monyet bertujuan untuk mencetak para monyet menjadi terampil memetik kelapa atau bermain topeng monyet. Institut Kemandirian bertujuan untuk mencetak manusia-manusia bermental mandiri.

Satu faktor utama yang membedakan sekolah monyet dengan sekolah-sekolah wirausaha di Indonesia pada umumnya, adalah soal hubungan antara guru dan siswa. Di sekolah wirausaha yang ada, para siswa bebas menentukan sendiri, apakah ia akan mengikuti saran dari gurunya, atau menolaknya. Tidak ada kekuatan paksa dari guru kepada siswanya. Di sisi lain, ketika siswa diizinkan memilih, biasanya mereka memilih cara yang paling mudah baginya. Sayangnya, ketika ia memilih cara yang mudah sekaligus menyenangkan, kemungkinan gagalnya lebih besar. Hasilnya bisa diduga. Di sekolah wirausaha manapun di tanah air, angka kegagalannya masih di atas 50 persen.

Kalau boleh disebut, sekolah yang hampir mirip dengan sekolah di Surat Thani atau Prajamusti hanyalah sekolah polisi atau sekolah militer. Pola sekolah terakhir, sering ditiru oleh lembaga lain, misalnya STPDN. Sayangnya, sekolah-sekolah seperti ini sering dicurigai melanggar HAM. Bukan tanpa sebab. Korban luka dan meninggal sudah banyak berjatuhan. Kita semua tahu, apa yang penyebabnya. Dan kita tidak berkehendak untuk menambah panjang daftar korban tak berdosa.

Rabu, Juni 18, 2008

Sekolah Para Monyet (Part I)

Part I

Dalam beberapa pelatihan wirausaha terakhir yang saya pandu, saya selalu menayangkan sebuah video topeng monyet berdurasi sekitar 20 menit. Bukan hanya yang diperani dengan apik oleh Sarimin, tetapi juga oleh Whiplash, monyet koboi dari Amerika. Dengan tayangan itu, sebenarnya saya hanya ingin mengatakan, "Monyet saja mampu berbisnis dan bisa cari uang sendiri sekaligus membantu tuannya cari makan. Mengapa kita manusia tidak bisa melakukannya ?" Saya hanya ingin menyentuh bagian paling dalam setiap manusia. Nurani. Kalau ada manusia dewasa, sehat dan waras yang masih belum bisa mencari uang sendiri untuk kebutuhannya, pada hakikatnya ia sudah menempatkan dirinya lebih rendah daripada monyet.

Ini memang cara baru, dari perjalanan kehidupan saya, yang terus-menerus mencari cara terbaik dalam mendidik manusia, terutama yang sudah terjebak dan merasa nyaman dalam sebuah jurang profesi yang disebut pengangguran. Saya iri dengan Akademi Pelatihan Monyet di Surat Thani, Thailand. Di Akademi ini, setiap monyet dididik agar bisa memetik kelapa yang diinginkan pemiliknya. Gurunya hanya satu orang. Beliau biasanya disebut khruu (guru) Somporn. Tidak seperti akademi lainnya, khruu Somporn tidak punya gelar akademis setinggi profesor, karena beliau hanya tamatan sekolah dasar. Hebatnya, kalau ada 10 ekor monyet masuk akademi itu, maka 10 monyet itu akan berhasil lulus dengan kualifikasi yang sama, sekalipun tidak pada saat yang bersamaan. Kalau ada 100 monyet yang mengikuti pelatihan, seluruhnya bisa lulus dengan kualifikasi yang sama. Tidak ada monyet yang lebih kompeten dibanding yang lain. Dengan kata lain, angka keberhasilannya nyaris 100 persen. Padahal, khruu Somporn tidak pernah menolak siswa. Tidak pernah memecat siswa. Dengan kesabaran penuh seperti yang diajarkan sang Buddha, ia mendidik para monyet sesuai amanah yang diberikan oleh para pemiliknya.

Saya juga iri dengan keberhasilan para guru yang mendidik calon pemain topeng monyet di Padepokan Prajamusti di Pandeglang. Untuk bisa diterima di sekolah ini, tidak ada kualifikasi kompetensi tertentu bagi calon siswa. Yang ada hanya syarat pembayaran. Asal induk semangnya membayar ongkos pendidikan, monyet pun bisa sekolah. Kalau tidak mati atau kabur, maka sang monyet dijamin bisa lulus dengan kualifikasi yang diinginkan. Di sini, angka keberhasilannya juga mencapai 100 persen. Setelah lulus dan dapat SIM (Surat Izin Manggung), harga monyet-monyet ini meningkat dari lima ratus ribu rupiah menjadi lebih dari tiga juta rupiah.

Ada pertanyaan yang selama bertahun-tahun belum saya temukan jawabannya secara pasti. Bahkan sampai kini, ketika tulisan ini ditulis. Kalaupun ada jawaban, jawaban itu bukan jawaban yang benar-benar tuntas. Pertanyaan itu masih menyisakan ruang untuk perubahan, atau perbaikan. Mengapa mendidik monyet 'lebih mudah' daripada mendidik manusia ? Kalau boleh disebut keberhasilan, kemampuan kami mendidik dan mengentaskan pengangguran di Institut Kemandirian baru sampai level 40 - 70 persen. Bahkan di awal kegiatan beberapa tahun lalu, angka keberhasilan tidak bisa beranjak dari 30 persen. Dan harus kami akui, sampai kini belum pernah mencapai keberhasilan 100 persen.

Menilik dari apa yang dilakukan oleh Akademi Monyet di Surat Thani maupun Padepokan Prajamusti di Pandeglang, ada beberapa pelajaran penting yang sangat mungkin diterapkan pada pendidikan untuk manusia.

Di Surat Thani, para monyet dididik dengan disiplin ketat. Sang guru Somporn, percaya sekali dengan ajaran Sun Tzu, yang menyembelih seekor ayam jago untuk menakut-nakuti monyet. Ketika para monyet mulai bertingkah, beliau menyembelih seekor ayam di hadapan para muridnya. Dan, para monyet pun menghentikan pembangkangannya. Tak perlu menyakiti para monyet. Cukup ditakut-takuti, mereka pun jadi penurut. Hanya karena dua atau tiga kali menyembelih ayam jago .....

Di Padepokan Prajamusti, disiplin diterapkan dalam bentuk berbeda. Bunyi cemeti kerap kali terdengar kalau para pelatih sedang berinteraksi dengan para muridnya. Tapi itu hanya pada awal-awal pelatihan. Selanjutnya, hanya dengan teriakan atau gerakan mengangkat cemeti saja, para monyet sudah mengerti bahwa kelakuan mereka salah.