Minggu, Juni 22, 2008

Sekolah Para Monyet (Part II)

Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah jelasnya tujuan. Setiap siswa di sekolah monyet memang tidak tahu untuk apa mereka disekolahkan. Para induk semang merekalah yang tahu persis, kompetensi seperti apa yang diinginkan. Di Surat Thani, para siswa diharapkan untuk bisa memilih dan memetik buah kelapa yang sudah masak dalam jumlah tertentu pada satuan waktu tertentu. Di Prajamusti, setiap alumni dipastikan mampu memainkan peran sebagai pengemudi sepeda motor, pedagang di pasar, berdandan dan sebagainya.

Saya dibesarkan dalam kultur Betawi yang sangat kental, dimana nilai-nilai penghormatan terhadap guru merupakan hal yang sangat sakral. Titah guru pantang dibantah. Itu sebabnya ketika kecil, saya, juga teman-teman lain, secara sukarela mengisi bak kamar mandi di rumah guru mengaji kami, sebelum belajar mengaji. Mungkin hal itu yang membuat nilai penghormatan saya kepada setiap guru yang pernah memberikan pelajaran menjadi demikian tinggi. Bagi saya pribadi, tidak ada bekas guru.

Ketika liburan kuliah dahulu, saya pernah menyempatkan diri untuk nyantri di sebuah pesantren di daerah Bangkalan Madura. Di sana, agaknya pimpinan pondok cukup paham tentang apa yang saya pelajari dalam kuliah. Dalam keseharian, saya hanya diminta untuk 'ngurusi' sapi-sapi milik pondok. Boleh dikata, dalam waktu satu bulan nyantri, hanya sedikit waktu yang saya isi dengan mengaji. Hanya waktu antara Maghrib dan Isya yang diisi dengan mengaji. Itu pun tidak penuh karena pak Kiai rajin memenuhi panggilan pengajian.

Pernah terlintas dalam pikiran, untuk apa 'ngurusi' sapi di pesantren ? Ke sini kan mau belajar agama lebih dalam ? Kalau cuma mau ngurusi sapi, di kampus juga banyak ......

Tapi begitulah. Klausul awal saya nyantri di situ adalah menerima apapun yang diberikan oleh pak Kiai. Dan itu harus saya patuhi, atau saya angkat kaki. Dan saya memilih untuk terus ngurusi sapi. Sampai akhir masa pendidikan, saya tidak banyak belajar. Saya hanya dapat satu ayat yang sampai sekarang masih saya hafal. Hanya satu ayat. Ayat itu berarti : Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka baginya jalan keluar (dari berbagai masalah). Dan Allah akan melimpahkannya dengan rejeki dari tempat yang tidak disangka-sangka (Ath-Thalaaq : 2-3).

Setelah belasan tahun ilmu satu ayat itu terlupakan, suatu ketika saya seperti disadarkan. Dan setelah saya amalkan, alhamdulillah, boleh dikata, apa yang saya inginkan sejak saya kuliah dahulu, hanya tinggal satu atau dua saja yang belum terkabul. yang lainnya, bukan hanya terkabul, tetapi melebihi apa yang saya inginkan. Dan saya yakin, dengan seluruh keyakinan yang ada pada diri saya, semua itu saya dapat karena izinNya melalui kepatuhan sepenuhnya kepada sang guru.

Soal disiplin dan tujuan, sekolah monyet dengan sekolah wirausaha (di Institut kemandirian) nyaris tidak berbeda. Keduanya sekolah itu memiliki pola disiplin yang cukup ketat, sekaligus tujuan yang jelas. Sekolah monyet bertujuan untuk mencetak para monyet menjadi terampil memetik kelapa atau bermain topeng monyet. Institut Kemandirian bertujuan untuk mencetak manusia-manusia bermental mandiri.

Satu faktor utama yang membedakan sekolah monyet dengan sekolah-sekolah wirausaha di Indonesia pada umumnya, adalah soal hubungan antara guru dan siswa. Di sekolah wirausaha yang ada, para siswa bebas menentukan sendiri, apakah ia akan mengikuti saran dari gurunya, atau menolaknya. Tidak ada kekuatan paksa dari guru kepada siswanya. Di sisi lain, ketika siswa diizinkan memilih, biasanya mereka memilih cara yang paling mudah baginya. Sayangnya, ketika ia memilih cara yang mudah sekaligus menyenangkan, kemungkinan gagalnya lebih besar. Hasilnya bisa diduga. Di sekolah wirausaha manapun di tanah air, angka kegagalannya masih di atas 50 persen.

Kalau boleh disebut, sekolah yang hampir mirip dengan sekolah di Surat Thani atau Prajamusti hanyalah sekolah polisi atau sekolah militer. Pola sekolah terakhir, sering ditiru oleh lembaga lain, misalnya STPDN. Sayangnya, sekolah-sekolah seperti ini sering dicurigai melanggar HAM. Bukan tanpa sebab. Korban luka dan meninggal sudah banyak berjatuhan. Kita semua tahu, apa yang penyebabnya. Dan kita tidak berkehendak untuk menambah panjang daftar korban tak berdosa.

Tidak ada komentar: