Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah jelasnya tujuan. Setiap siswa di sekolah monyet memang tidak tahu untuk apa mereka disekolahkan.
Saya dibesarkan dalam kultur Betawi yang sangat kental, dimana nilai-nilai penghormatan terhadap guru merupakan hal yang sangat sakral. Titah guru pantang dibantah. Itu sebabnya ketika kecil, saya, juga teman-teman lain, secara sukarela mengisi bak kamar mandi di rumah guru mengaji kami, sebelum belajar mengaji. Mungkin hal itu yang membuat nilai penghormatan saya kepada setiap guru yang pernah memberikan pelajaran menjadi demikian tinggi. Bagi saya pribadi, tidak ada bekas guru.
Ketika liburan kuliah dahulu, saya pernah menyempatkan diri untuk nyantri di sebuah pesantren di daerah Bangkalan Madura. Di
Pernah terlintas dalam pikiran, untuk apa 'ngurusi' sapi di pesantren ? Ke sini
Tapi begitulah. Klausul awal saya nyantri di situ adalah menerima apapun yang diberikan oleh pak Kiai. Dan itu harus saya patuhi, atau saya angkat kaki. Dan saya memilih untuk terus ngurusi sapi. Sampai akhir masa pendidikan, saya tidak banyak belajar. Saya hanya dapat satu ayat yang sampai sekarang masih saya hafal. Hanya satu ayat. Ayat itu berarti : Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka baginya jalan keluar (dari berbagai masalah). Dan Allah akan melimpahkannya dengan rejeki dari tempat yang tidak disangka-sangka (Ath-Thalaaq : 2-3).
Setelah belasan tahun ilmu satu ayat itu terlupakan, suatu ketika saya seperti disadarkan. Dan setelah saya amalkan, alhamdulillah, boleh dikata, apa yang saya inginkan sejak saya kuliah dahulu, hanya tinggal satu atau dua saja yang belum terkabul. yang lainnya, bukan hanya terkabul, tetapi melebihi apa yang saya inginkan. Dan saya yakin, dengan seluruh keyakinan yang ada pada diri saya, semua itu saya dapat karena izinNya melalui kepatuhan sepenuhnya kepada sang guru.
Soal disiplin dan tujuan, sekolah monyet dengan sekolah wirausaha (di Institut kemandirian) nyaris tidak berbeda. Keduanya sekolah itu memiliki pola disiplin yang cukup ketat, sekaligus tujuan yang jelas. Sekolah monyet bertujuan untuk mencetak para monyet menjadi terampil memetik kelapa atau bermain topeng monyet. Institut Kemandirian bertujuan untuk mencetak manusia-manusia bermental mandiri.
Satu faktor utama yang membedakan sekolah monyet dengan sekolah-sekolah wirausaha di
Kalau boleh disebut, sekolah yang hampir mirip dengan sekolah di Surat Thani atau Prajamusti hanyalah sekolah polisi atau sekolah militer. Pola sekolah terakhir, sering ditiru oleh lembaga lain, misalnya STPDN. Sayangnya, sekolah-sekolah seperti ini sering dicurigai melanggar HAM. Bukan tanpa sebab. Korban luka dan meninggal sudah banyak berjatuhan. Kita semua tahu, apa yang penyebabnya. Dan kita tidak berkehendak untuk menambah panjang daftar korban tak berdosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar