Jumat, Juli 03, 2009

Prinsip Antrian untuk Sukses

Pagi ini, saya ke BNI untuk menyetorkan sebagian penghasilan untuk masa depan ke sebuah rekening yang saya sebut sebagai rekening penjara. Saya dan istri memang sudah menetapkan, untuk membuka satu rekening, yang isinya tidak boleh diganggu-gugat, sampai kami berusia 60 tahun. Seperti biasa, sudah ada antrian. Kali ini cukup panjang. Kalau dihitung, saya berada pada antrian ke tiga puluh. Suka atau tidak suka, saya harus terus berada dalam antrian, agar saya bisa sampai di depan. Memang ada pilihan untuk pindah ke cabang lain, tetapi cara ini pun tidak menjamin bahwa antriannya tidak sepanjang di sini.

Antrian terus bergerak. Masih ada sebelas orang di depan. 5 sampai 10 menit lagi, saya akan dilayani teller. Tiba-tiba, seorang ibu yang berpakaian agak menor, masuk ke dalam antrian di depan saya. Padahal, masih ada sekitar dua puluh orang di belakang saya. Saya mencoba untuk menegur dan memintanya untuk antri di belakang. Beberapa orang yang antri di belakang saya juga mencoba menegur. Awalnya dengan suara yang lemah lembut. Karena tidak digubris, suara sudah mulai keras, bahkan cenderung kasar.

Hujan sindiran itu tidak berlangsung lama. Seorang satpam datang, dan memberikan sedikit penjelasan kepada sang ibu. Entah terpaksa atau sukarela, sang ibu itu akhirnya pindah ke antrian paling belakang. Mungkin karena malu atau ia sudah tidak punya banyak waktu, saya tidak melihatnya berada dalam antrian ketika saya hendak keluar dari bank itu.

Di kantor, saya mencoba merenungkan kejadian di BNI tadi. Hidup ini, hampir serupa dengan prinsip antrian. Untuk bisa sampai di urutan paling depan dan dilayani petugas (baca : sukses), kita harus tetap berada di dalam antrian, apapun yang terjadi. Jangan pernah sekali-sekali berpikir untuk melakukan jalan pintas (memotong antrian), atau meninggalkan antrian.

Saya jadi ingat sekitar tiga belas tahun yang lalu, ketika saya memutuskan untuk keluar dari tempat saya bekerja dan memulai kehidupan sebagai wirausaha. Usaha pertama yang saya geluti adalah bengkel sepeda motor. Ketika itu, tabungan saya masih cukup banyak. Jadi, saya mulai bengkel itu dengan modal cukup besar, yaitu sekitar Rp. 70 juta. Hasilnya? Bengkel itu tutup dalam 7 bulan.

Sebabnya boleh jadi cukup banyak. Saya tidak tahu banyak soal bisnis ini. Relasi di bidang inipun boleh disebut tidak ada. Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman mengelola bengkel juga belum saya punya. Ujung-ujungnya, uang tabungan sebesar Rp. 70 juta pun bablas. Jadi, inilah pelajaran pertama prinsip antrian : mulailah karir anda dari bawah. Jangan gunakan jalan pintas. Uang memang penting untuk memulai usaha, tetapi tanpa pengetahuan, keterampilan dan pengalaman di bidang tersebut, uang sebanyak apapun, bisa hilang tanpa bekas ...
Setelah gagal di dunia perbengkelan, saya pindah usaha. Kalau dihitung, ada sekitar 8 bidang usaha lain yang saya tekuni, dan semuanya gagal total. Saya pernah menekuni bisnis agribisnis cabai, warung soto, fotografi, furniture, handicraft, perdagangan suku cadang kendaraan bermotor, dekorasi panggung dan juga peternakan ayam. Gagal satu, ganti usaha lain. Hal ini paralel dengan berpindah-pindah antrian. Ujung-ujungnya, saya tidak pernah sampai di antrian terdepan. Saya belum pernah sukses dalam berbagai usaha saya. Inilah pelajaran kedua dari prinsip antrian : jangan keluar dari antrian ...

Sebuah pelajaran hidup yang pahit. Sejumlah dana dalam jumlah nyang cukup besar, habis tak tentu rimbanya, hanya karena dua sebab. Jalan pintas dan terlalu cepat keluar antrian. Syukur lah, saya bisa belajar dari berbagai pengalaman pahit itu. Tahun 1998, saya mulai mengembangkan kemampuan saya menulis. Selama 3 tahun menulis, belum ada satu pun tulisan saya yang diterbitkan. Syukur lah. Setelah 3 tahun yang pahit itu, buku pertama saya bisa terbit. Setelah itu, menyusul naskah-naskah lainnya. Dan sampai hari ini, tak kurang dari 92 buku sudah diterbitkan. 9 judul di antaranya sudah diterbitkan di negeri jiran, Malaysia.
Antrian memberi saya dua pelajaran hidup terpenting. Tidak ada jalan pintas, dan tetaplah pada antrian. Jika sudah demikian, sukses hanya soal waktu saja ...

BNI Public Profile :
www.facebook.com/BNI

Kategori Umum
Nama Lengkap : Zainal Abidin
e-mail : oriza@pacific.net.id

Senin, Juni 29, 2009

Asuransi dan Saya

Seorang kawan, mantan manajer di sebuah perusahaan bercerita pada saya. Ia sudah bekerja di perusahaan itu lebih dari tiga puluh tahun, dan sebentar lagi ia akan memasuki masa pensiun. Gaji terakhirnya sekitar Rp. 8 juta. Ketika pensiun, ia mendapat uang pensiun sebesar delapan ratus ribu rupiah per bulan. Saya tanya padanya, berapa gaji pertama yang ia terima tiga puluh tahun yang lalu? Delapan puluh ribu rupiah.

Ada beberapa hal menarik dari fakta ini.

1. Kawan ini, sudah tigapuluh tahun bekerja, dan sepanjang waktu itu, gajinya meningkat sekitar 100 kali lipat dari gaji pertama. Sayangnya, setelah masa itu, ia harus pensiun dengan mendapatkan tunjangan pensiun yang nilainya sepuluh kali lipat dari gaji pertamanya.

2. Apabila dibuat sebuah grafik, maka grafik sepanjang 30 tahun masa kerja adalah garis lurus yang mengarah ke atas. Sayangnya, laju naik grafik ini terhenti ketika seseorang pensiun, dan grafiknya menurun dalam waktu yang sangat singkat.

3. Ditinjau dari jumlahnya, uang pensiun memang masih lebih tinggi dari gajinya yang pertama, tetapi jarak waktu tiga puluh tahun ternyata telah menurunkan nilai uang sejumlah itu. Delapan puluh ribu rupiah adalah angka yang cukup besar tiga puluh tahun yang lalu, tetapi delapan ratus ribu saat ini mungkin tidak terlalu berarti untuk melanjutkan standar hidup yang selama ini sudah berjalan. Sebagai ilustrasi, harga bensin pada tanggal 1 Mei 1980 adalah Rp. 150,- sedangkan harga bensin saat ini mencapai Rp. 5.500,- Ini berarti, seorang karyawan akan menerima uang pensiun di akhir karirnya, yang besarnya lebih rendah dari gajinya yang pertama. Ini fakta yang menyakitkan, terutama jika ia tidak punya sumber penghasilan lain.

4. Kalau boleh saya mengilustrasikan, sejak muda sampai puncak karirnya, seorang karyawan bernyanyi ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’. Di puncak karirnya, ia bernyanyi ‘Kemesraan’ di mana penggalan syair ‘kemesraan ini janganlah cepat berlalu’ dinyanyikan berulang-ulang. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. ‘Kemesraan’ itu hanya bertahan paling lama sepuluh tahun, dan setelah ia menjalani masa pensiun, ia menyanyikan lagu ‘Mimpi Sedih’. Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan ....

Inilah fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Jarang sekali karyawan yang bisa dan mampu hidup layak setelah mereka pensiun. Sebagian besar terpaksa mencari pekerjaan lain, untuk tetap mempertahankan standar kehidupan mereka sebelumnya. Yang sudah tidak mau dan atau tidak mampu bekerja lagi, dengan terpaksa harus menurunkan standar kehidupannya, dan hidupnya berakhir dalam kesengsaraan. Bukan itu saja. Anak-anaknya putus sekolah karena kekurangan biaya. Kesehatannya tidak terlalu dihiraukan karena tak punya dana.

Nasib yang sama, bukan hanya dominasi para karyawan, tetapi dialami juga oleh para pengusaha yang memasuki usia lanjut. Ketiadaaan generasi penerus, tenaga yang sudah berkurang atau iklim usaha yang kurang menguntungkan biasanya dianggap sebagai alasan sehingga laju usahanya terhenti. Sumber penghasilannya terhenti. Jika ia tidak memiliki tabungan, bisa jadi hidupnya pun akan berujung kesengsaraan.

Biaya hidup semakin lama semakin tinggi. Demikian juga dengan biaya pendidikan dan kesehatan. Masa depan adalah sesuatu yang tidak pasti. Banyak hal bisa terjadi. Termasuk pada diri anda.

Anda yang masih berstatus karyawan atau pengusaha, kini bisa menghindari lagu ‘Mimpi Sedih’ di usia senja. Ada banyak wahana investasi yang bisa anda pilih. Salah satunya adalah dengan asuransi. Asuransi adalah investasi masa depan. Cukup dengan membayar sejumlah premi tertentu, anda bisa menikmati masa pensiun dengan damai sambil terus menyanyikan lagu kemesraan.

Kini asuransi bukan sekedar asuransi jiwa ataupun dana pensiun. Ada juga asuransi pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Anak-anak anda tidak perlu putus sekolah. Anda tidak perlu repot memikirkan biaya berobat atau rawat inap ketika anda sakit. Pilihlah wahana asuransi sesuai kebutuhan anda.

Mertua saya, adalah pemegang polis Asuransi Anekaguna AJB Bumiputera 1912 sejak tahun tujuh puluhan, semasa beliau masih bekerja di Unilever. Tahun delapan puluhan, beliau memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai kehidupan sebagai seorang wirausaha. Saat itu, beliau menerima dana sebesar US $ 2.500 dari AJB Bumiputera 1912, yang kemudian digunakan sebagai modal usaha. Alhamdulillaah, usahanya makin membesar sampai sekarang.

Belajar dari mertua, kami pun mengasuransikan pendidikan putra kami di AJB Bumiputera 1912. Alhamdulillah, ketika ia masuk SD tahun 2001, kami tidak keberatan membayar uang masuk, karena sebagian dananya diperoleh dari pertanggungan asuransi itu. Demikian juga ketika ia masuk SMP pada tahun 2007. Hal yang sama insya Allah akan terjadi ketika ia masuk SMA maupun Perguruan Tinggi. Asuransi memang membuat hidup lebih tenang. Untuk pensiun dan kesehatan, kami sekeluarga juga dilindungi asuransi.

Jika anda ingin pensiun dengan tenang, berasuransi lah sejak sekarang. Berikut adalah beberapa hal yang perlu anda pertimbangkan :

1. Mengingat anda sedang merencanakan masa depan, hitunglah dengan seksama kebutuhan anda di masa depan. Ingat, satu juta rupiah sekarang akan sangat berbeda nilainya dengan satu juta rupiah ketika anda pensiun!

2. Kesempat terbaik berinvestasi melalui asuransi adalah dua puluh tahun yang lalu. Tapi jika masa itu belum anda manfaatkan, kini muncul kesempatan kedua. Sekarang lah waktunya!