Jumat, Juli 03, 2009

Prinsip Antrian untuk Sukses

Pagi ini, saya ke BNI untuk menyetorkan sebagian penghasilan untuk masa depan ke sebuah rekening yang saya sebut sebagai rekening penjara. Saya dan istri memang sudah menetapkan, untuk membuka satu rekening, yang isinya tidak boleh diganggu-gugat, sampai kami berusia 60 tahun. Seperti biasa, sudah ada antrian. Kali ini cukup panjang. Kalau dihitung, saya berada pada antrian ke tiga puluh. Suka atau tidak suka, saya harus terus berada dalam antrian, agar saya bisa sampai di depan. Memang ada pilihan untuk pindah ke cabang lain, tetapi cara ini pun tidak menjamin bahwa antriannya tidak sepanjang di sini.

Antrian terus bergerak. Masih ada sebelas orang di depan. 5 sampai 10 menit lagi, saya akan dilayani teller. Tiba-tiba, seorang ibu yang berpakaian agak menor, masuk ke dalam antrian di depan saya. Padahal, masih ada sekitar dua puluh orang di belakang saya. Saya mencoba untuk menegur dan memintanya untuk antri di belakang. Beberapa orang yang antri di belakang saya juga mencoba menegur. Awalnya dengan suara yang lemah lembut. Karena tidak digubris, suara sudah mulai keras, bahkan cenderung kasar.

Hujan sindiran itu tidak berlangsung lama. Seorang satpam datang, dan memberikan sedikit penjelasan kepada sang ibu. Entah terpaksa atau sukarela, sang ibu itu akhirnya pindah ke antrian paling belakang. Mungkin karena malu atau ia sudah tidak punya banyak waktu, saya tidak melihatnya berada dalam antrian ketika saya hendak keluar dari bank itu.

Di kantor, saya mencoba merenungkan kejadian di BNI tadi. Hidup ini, hampir serupa dengan prinsip antrian. Untuk bisa sampai di urutan paling depan dan dilayani petugas (baca : sukses), kita harus tetap berada di dalam antrian, apapun yang terjadi. Jangan pernah sekali-sekali berpikir untuk melakukan jalan pintas (memotong antrian), atau meninggalkan antrian.

Saya jadi ingat sekitar tiga belas tahun yang lalu, ketika saya memutuskan untuk keluar dari tempat saya bekerja dan memulai kehidupan sebagai wirausaha. Usaha pertama yang saya geluti adalah bengkel sepeda motor. Ketika itu, tabungan saya masih cukup banyak. Jadi, saya mulai bengkel itu dengan modal cukup besar, yaitu sekitar Rp. 70 juta. Hasilnya? Bengkel itu tutup dalam 7 bulan.

Sebabnya boleh jadi cukup banyak. Saya tidak tahu banyak soal bisnis ini. Relasi di bidang inipun boleh disebut tidak ada. Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman mengelola bengkel juga belum saya punya. Ujung-ujungnya, uang tabungan sebesar Rp. 70 juta pun bablas. Jadi, inilah pelajaran pertama prinsip antrian : mulailah karir anda dari bawah. Jangan gunakan jalan pintas. Uang memang penting untuk memulai usaha, tetapi tanpa pengetahuan, keterampilan dan pengalaman di bidang tersebut, uang sebanyak apapun, bisa hilang tanpa bekas ...
Setelah gagal di dunia perbengkelan, saya pindah usaha. Kalau dihitung, ada sekitar 8 bidang usaha lain yang saya tekuni, dan semuanya gagal total. Saya pernah menekuni bisnis agribisnis cabai, warung soto, fotografi, furniture, handicraft, perdagangan suku cadang kendaraan bermotor, dekorasi panggung dan juga peternakan ayam. Gagal satu, ganti usaha lain. Hal ini paralel dengan berpindah-pindah antrian. Ujung-ujungnya, saya tidak pernah sampai di antrian terdepan. Saya belum pernah sukses dalam berbagai usaha saya. Inilah pelajaran kedua dari prinsip antrian : jangan keluar dari antrian ...

Sebuah pelajaran hidup yang pahit. Sejumlah dana dalam jumlah nyang cukup besar, habis tak tentu rimbanya, hanya karena dua sebab. Jalan pintas dan terlalu cepat keluar antrian. Syukur lah, saya bisa belajar dari berbagai pengalaman pahit itu. Tahun 1998, saya mulai mengembangkan kemampuan saya menulis. Selama 3 tahun menulis, belum ada satu pun tulisan saya yang diterbitkan. Syukur lah. Setelah 3 tahun yang pahit itu, buku pertama saya bisa terbit. Setelah itu, menyusul naskah-naskah lainnya. Dan sampai hari ini, tak kurang dari 92 buku sudah diterbitkan. 9 judul di antaranya sudah diterbitkan di negeri jiran, Malaysia.
Antrian memberi saya dua pelajaran hidup terpenting. Tidak ada jalan pintas, dan tetaplah pada antrian. Jika sudah demikian, sukses hanya soal waktu saja ...

BNI Public Profile :
www.facebook.com/BNI

Kategori Umum
Nama Lengkap : Zainal Abidin
e-mail : oriza@pacific.net.id

Senin, Juni 29, 2009

Asuransi dan Saya

Seorang kawan, mantan manajer di sebuah perusahaan bercerita pada saya. Ia sudah bekerja di perusahaan itu lebih dari tiga puluh tahun, dan sebentar lagi ia akan memasuki masa pensiun. Gaji terakhirnya sekitar Rp. 8 juta. Ketika pensiun, ia mendapat uang pensiun sebesar delapan ratus ribu rupiah per bulan. Saya tanya padanya, berapa gaji pertama yang ia terima tiga puluh tahun yang lalu? Delapan puluh ribu rupiah.

Ada beberapa hal menarik dari fakta ini.

1. Kawan ini, sudah tigapuluh tahun bekerja, dan sepanjang waktu itu, gajinya meningkat sekitar 100 kali lipat dari gaji pertama. Sayangnya, setelah masa itu, ia harus pensiun dengan mendapatkan tunjangan pensiun yang nilainya sepuluh kali lipat dari gaji pertamanya.

2. Apabila dibuat sebuah grafik, maka grafik sepanjang 30 tahun masa kerja adalah garis lurus yang mengarah ke atas. Sayangnya, laju naik grafik ini terhenti ketika seseorang pensiun, dan grafiknya menurun dalam waktu yang sangat singkat.

3. Ditinjau dari jumlahnya, uang pensiun memang masih lebih tinggi dari gajinya yang pertama, tetapi jarak waktu tiga puluh tahun ternyata telah menurunkan nilai uang sejumlah itu. Delapan puluh ribu rupiah adalah angka yang cukup besar tiga puluh tahun yang lalu, tetapi delapan ratus ribu saat ini mungkin tidak terlalu berarti untuk melanjutkan standar hidup yang selama ini sudah berjalan. Sebagai ilustrasi, harga bensin pada tanggal 1 Mei 1980 adalah Rp. 150,- sedangkan harga bensin saat ini mencapai Rp. 5.500,- Ini berarti, seorang karyawan akan menerima uang pensiun di akhir karirnya, yang besarnya lebih rendah dari gajinya yang pertama. Ini fakta yang menyakitkan, terutama jika ia tidak punya sumber penghasilan lain.

4. Kalau boleh saya mengilustrasikan, sejak muda sampai puncak karirnya, seorang karyawan bernyanyi ‘Naik-naik ke Puncak Gunung’. Di puncak karirnya, ia bernyanyi ‘Kemesraan’ di mana penggalan syair ‘kemesraan ini janganlah cepat berlalu’ dinyanyikan berulang-ulang. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. ‘Kemesraan’ itu hanya bertahan paling lama sepuluh tahun, dan setelah ia menjalani masa pensiun, ia menyanyikan lagu ‘Mimpi Sedih’. Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan ....

Inilah fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Jarang sekali karyawan yang bisa dan mampu hidup layak setelah mereka pensiun. Sebagian besar terpaksa mencari pekerjaan lain, untuk tetap mempertahankan standar kehidupan mereka sebelumnya. Yang sudah tidak mau dan atau tidak mampu bekerja lagi, dengan terpaksa harus menurunkan standar kehidupannya, dan hidupnya berakhir dalam kesengsaraan. Bukan itu saja. Anak-anaknya putus sekolah karena kekurangan biaya. Kesehatannya tidak terlalu dihiraukan karena tak punya dana.

Nasib yang sama, bukan hanya dominasi para karyawan, tetapi dialami juga oleh para pengusaha yang memasuki usia lanjut. Ketiadaaan generasi penerus, tenaga yang sudah berkurang atau iklim usaha yang kurang menguntungkan biasanya dianggap sebagai alasan sehingga laju usahanya terhenti. Sumber penghasilannya terhenti. Jika ia tidak memiliki tabungan, bisa jadi hidupnya pun akan berujung kesengsaraan.

Biaya hidup semakin lama semakin tinggi. Demikian juga dengan biaya pendidikan dan kesehatan. Masa depan adalah sesuatu yang tidak pasti. Banyak hal bisa terjadi. Termasuk pada diri anda.

Anda yang masih berstatus karyawan atau pengusaha, kini bisa menghindari lagu ‘Mimpi Sedih’ di usia senja. Ada banyak wahana investasi yang bisa anda pilih. Salah satunya adalah dengan asuransi. Asuransi adalah investasi masa depan. Cukup dengan membayar sejumlah premi tertentu, anda bisa menikmati masa pensiun dengan damai sambil terus menyanyikan lagu kemesraan.

Kini asuransi bukan sekedar asuransi jiwa ataupun dana pensiun. Ada juga asuransi pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Anak-anak anda tidak perlu putus sekolah. Anda tidak perlu repot memikirkan biaya berobat atau rawat inap ketika anda sakit. Pilihlah wahana asuransi sesuai kebutuhan anda.

Mertua saya, adalah pemegang polis Asuransi Anekaguna AJB Bumiputera 1912 sejak tahun tujuh puluhan, semasa beliau masih bekerja di Unilever. Tahun delapan puluhan, beliau memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai kehidupan sebagai seorang wirausaha. Saat itu, beliau menerima dana sebesar US $ 2.500 dari AJB Bumiputera 1912, yang kemudian digunakan sebagai modal usaha. Alhamdulillaah, usahanya makin membesar sampai sekarang.

Belajar dari mertua, kami pun mengasuransikan pendidikan putra kami di AJB Bumiputera 1912. Alhamdulillah, ketika ia masuk SD tahun 2001, kami tidak keberatan membayar uang masuk, karena sebagian dananya diperoleh dari pertanggungan asuransi itu. Demikian juga ketika ia masuk SMP pada tahun 2007. Hal yang sama insya Allah akan terjadi ketika ia masuk SMA maupun Perguruan Tinggi. Asuransi memang membuat hidup lebih tenang. Untuk pensiun dan kesehatan, kami sekeluarga juga dilindungi asuransi.

Jika anda ingin pensiun dengan tenang, berasuransi lah sejak sekarang. Berikut adalah beberapa hal yang perlu anda pertimbangkan :

1. Mengingat anda sedang merencanakan masa depan, hitunglah dengan seksama kebutuhan anda di masa depan. Ingat, satu juta rupiah sekarang akan sangat berbeda nilainya dengan satu juta rupiah ketika anda pensiun!

2. Kesempat terbaik berinvestasi melalui asuransi adalah dua puluh tahun yang lalu. Tapi jika masa itu belum anda manfaatkan, kini muncul kesempatan kedua. Sekarang lah waktunya!

Senin, Juli 28, 2008

Buat Mereka Bangga ...

Dalam perjalanan pulang dari Medan, saya berkenalan dengan seorang ibu yang usianya sudah cukup lanjut. Dalam perkiraan saya, umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Tujuannya ke Jakarta, kemudian pindah pesawat menuju Denpasar dan berakhir di Melbourne, Australia. Beliau ingin menghadiri wisuda anaknya di Melbourne University.

Tentu saja banyak pertanyaan di hati saya. Seharusnya, beliau tidak berangkat sendiri. Kemana suaminya? Tega sekali membiarkan istrinya pergi sendirian ke luar negeri. Kemana juga anak-anaknya? Betapa teganya membiarkan seorang ibu yang sudah tidak muda lagi, ke luar negeri tanpa ditemani. Seperti mengetahui apa yang saya pikirkan, beliau bercerita panjang lebar tentang kisah kehidupannya.

Beliau adalah ibu dari tujuh orang anak. Sekeluarga, mereka tinggal di Simalungun, Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, sebuah rumah sempit, yang disesaki oleh delapan manusia. Yang sekolah di Australia, adalah anak bungsunya. Suaminya meninggal dunia, ketika anak-anaknya masih kecil. yang tertua baru berumur 11 tahun. Beliau membesarkan anak-anaknya dalam kondisi sulit. Dan, beliau adalah salah satu orang beruntung yang pernah saya temui. 6 dari tujuh anaknya, adalah sarjana. Yang bungsu, sudah MBA dari Melbourne University. Anak kedua, seorang dokter spesialis bedah, sekaligus salah satu pejabat di lingkungan Pemda Sumatera Utara. Anak pertama tidak sarjana. Si sulung, berprofesi sebagai petani. Anak-anak yang lain, tidak terlalu jelas diceritakan, tetapi yang pasti, mereka semua sarjana. Ada sarjana teknik sipil, ada yang perminyakan. Intinya, beliau bisa disebut sebagai orang yang sukses mendidik anak-anaknya.

Ada satu pertanyaan nakal yang saya ajukan. Mendengar cerita itu, saya menebak bahwa beliau begitu bangga dengan keberhasilan anak-anaknya. Dan dugaan saya, anak yang paling beliau banggakan adalah anak kedua. Seorang dokter bedah sekaligus pejabat di pemerintahan.

Beliau menggeleng. Bukan, katanya. Anak yang paling beliau banggakan justru anak pertama, yang sampai kini masih jadi petani di Simalungun sana. Mengapa? Karena atas pengorbanan anak sulung inilah, anak kedua sampai ketujuh bisa sekolah tinggi. Biaya sekolah mereka, sebagian besar berasal dari jerih payahnya sebagai petani. Kalau saja si sulung tidak berkorban, meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja sebagai petani setelah sang ayah meninggal, bisa jadi kehidupan kami sekarang tidak bergeser jauh dari kondisi dahulu, kenang beliau.

* * * * *

Di Padang, saya mendapatkan cerita yang nyaris serupa. Bedanya, saya mendengarnya bukan dari tangan pertama. Saya mendengarnya dari bapak Basril Djabbar, Pemimpin Umum harian Singgalang Padang. Beliau adalah orang ketiga dari 'dinasti' Djabbar yang saya kenal. Yang pertama, almarhum Hamid Djabbar, sastrawan yang lumayan kondang di tanah air. Beliau adalah salah satu guru saya dalam menulis. Djabbar kedua adalah Rahim Djabbar. Djabbar yang ini, adalah guru saya, yang kemudian menuntun saya belajar ilmu perdagangan internasional. Atas rekomendasi beliau, dan bantuan ibu Ratna Juwita, istrinya, saya berangkat ke Australia untuk belajar lagi.
Bas adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya pergi meninggalkan tujuh bersaudara itu, ketika mereka semua masih kecil-kecil. Untuk menyambung kehidupan mereka sekeluarga, sang ibu menjadi buruh cuci bagi para tetangga mereka. Hasilnya, seringkali hanya cukup untuk membeli seliter beras yang kemudian dimasak menjadi nasi. Nyaris tanpa lauk sama sekali. Sedikit merica dan garam kadang ditambahkan sebagai penambah rasa.

Bas, sebagai anak tertua, merasa terpanggil untuk mengambil tanggung jawab atas kelangsungan hidup sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya. Usianya baru 12 tahun ketika itu. Tanpa izin ibunya, ia pergi ke terminal Pariaman, kota tempat tinggalnya. Tujuannya pasti. Pakan Baru. Dari selentingan kabar yang ia dengar dari para tentangganya, Pakan Baru adalah tempat di mana ia bisa mengubah nasib. Cuma satu kendala yang ia jumpai di terminal. Ia sama sekali tidak punya uang untuk membayar ongkos bus.

Dengan sisa keberanian yang dimilikinya, ia naik ke atas bus. Badannya yang kecil, memungkinkannya bersembunyi di bawah kursi bus. Beruntung, bus berangkat tanpa menunggu penuh.

Beberapa waktu, ia aman di atas bus. Sampai akhirnya, kondektur bus itu menemukannya menekuk badan di bawah kursi. terpaksa ia keluar, dan menghadapi caci-maki dan omelan sang kondektur. Puas mengomel, ujung-ujungnya sang kondektur iba melihatnya. Ia pun terus dibawa sampai ke Pakan Baru dengan satu syarat. Ongkos bus harus dibayarnya dengan mencuci bus itu sesampainya di Pakan Baru.

Puas dengan hasil kerja Bas, sopir dan kondektur itu merekomendasikan Bas sebagai pencuci mobil di pangkalan bus. Ia pun menerima upah ala kadarnya dari para sopir atau kondektur bus yang dicucinya. Ia bisa makan dari uang itu, sekaligus menyisihkan sejumlah uang untuk dikirim ke keluarganya. Menurut perhitungannya, uang yang dikumpulkan bisa membeli sekarung beras, yang cukup untuk menunjang hidup keluarganya selama 2 sampai 3 bulan.

Selalu saja ada masalah. Ia tidak tahu, bagaimana mengirim uang ke Pariaman. Ia tidak berpikir untuk pulang ke Pariaman, karena hal itu justru menguras uang yang bisa digunakan untuk yang lebih bermanfaat. Akhirnya ia datang ke sebuah pasar. Berkali-kali bertanya pada banyak orang, sampai akhirnya ia bertemu dengan salah seorang pedagang yang berasal dari Pariaman. Merasa telah menemukan orang yang dicarinya, ia menyerahkan uang yang dimilikinya pada orang itu, untuk dikirim ke ibunya di Pariaman.

Alhamdulillah, ia menemukan orang yang baik. Uang sampai ke ibunya di Pariaman. Ia terus bekerja sebagai pencuci mobil. Mengumpulkan uang hasil kerjanya, dan mengirimkan sebagian untuk ibu dan adik-adiknya. Sebagian lagi, digunakan untuk beralih usaha. Ia pernah jadi loper koran, menjadi calo jual-beli mobil, sampai akhirnya mempunyai usaha yang mapan sebagai pemilik showroom mobil. Hari ini, anak kecil berusia 12 tahun itu sudah bermetamorfosis menjadi H Basrizal Koto, salah satu saudagar besar di Sumatera Barat. Walaupun saya tidak pernah bertemu dengan ibu beliau, saya yakin, sang ibu pasti bangga pada anaknya.

Pembaca, apa yang sudah kita lakukan untuk membuat orang tua kita bangga?

Success is Our Obligation

Seorang kawan mengirimkan sebuah film dokumenter berjudul The New Rulers of The World. Di film yang kualitas gambarnya kurang baik itu, saya mendapatkan beberapa fakta mengenaskan. Sang Produser, John Pilger, menemukan bahwa sepotong celana pendek buatan Indonesia dijual di sebuah supermarket di Inggris dengan harga banderol Rp. 112.000,- Sepasang sepatu merk terkenal made in Indonesia, dilabeli harga Rp. 1,4 juta di supermarket yang sama. Bangga juga, karya bangsa sendiri bias dijual di negeri lain. Harganya tinggi pula.

Sayangnya, kebanggan itu pupus tanpa bekas, ketika sang produser menemukan fakta lain. Para buruh yang membuat celana buntung tadi, hanya kebagian bayaran tidak lebih dari lima ratus perak. Tak lebih tinggi dari harga sewa WC Umum. Para buruh pembuat sepatu, hanya dibayar lima ribu rupiah. Tidak lebih mahal dari harga seporsi gado-gado. Dan apabila gaji seluruh buruh pembuat sepatu di tanah air dijumlahkan, ternyata tidak cukup untuk membayar kontrak iklan perusahaan sepatu itu kepada Tiger Woods.

Fakta yang mengejutkan. Tapi itulah adanya. Buruh kita, bayarannya hanya satu level di atas budak. Penghasilannya sangat rendah. Bahkan lebih rendah daripada uang yang bisa dihasilkan oleh seekor monyet dalam pertunjukan topeng monyet keliling. Monyet yang sudah terlatih ini, bisa menghasilkan uang minimal Rp. 15.000,- sekali manggung, yang memakan waktu tidak lebih dari setengah jam.

Inilah fakta. Dan masih banyak fakta menyedihkan lainnya. Jumlah pengangguran di negeri ini, sudah di atas 10 juta. Setiap tahun, kemungkinan terus bertambah. Bukan karena tidak terdidik. Mereka justru orang-orang terdidik, dengan pendidikan minimal SMA, atau bahkan sarjana. Negeri ini, dipenuhi oleh orang-orang gagal. Orang-rang kalah. Perlu upaya ekstra, untuk membuat mereka mandiri. Perlu upaya luar biasa, untuk membuat mereka tidak jadi benalu.

Selama ini, kita menganggap bahwa sukses adalah hak setiap orang. Seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan. Hak untuk hidup dengan penghasilan yang layak. Hak untuk memperoleh pendidikan. Implikasinya, sama seperti hak pilih dalam Pemilu. Mereka boleh menggunakan hak pilihnya, atau boleh juga golput. Setiap orang, karena menganggap sukses sebagai hak, boleh mengambil hak itu, atau tidak. Yang mau sukses, silahkan menuntut haknya. Yang tidak mau, tidak ada konsekuensi apa-apa.

Ini mungkin ide gila. Tapi setidaknya, patut untuk dicoba. Sudah saatnya, kita mengubah apa yang selama ini dianggap hak, menjadi kewajiban. Jadi, sukses adalah kewajiban semua. Pendidikan, adalah kewajiban. Mendapatkan pekerjaan, adalah kewajiban. Implikasinya, mereka yang tidak bekerja (di usia produktif, dan tidak punya hambatan fisik), mendapatkan sanksi.

Dengan begini, mungkin kita semua, akan berusaha untuk memperoleh pekerjaan. Apapun jenis pekerjaannya. Tidak juga menuntut hak atas pekerjaan kepada pemerintah. Tidak seperti selama ini, yang cenderung memilih-milih pekerjaan. Ujung-ujungnya, pengangguran menumpuk. Dan ternyata, mencari pekerjaan memang tidak sulit. Dan ternyata juga, mencari uang juga tidak sulit. Mengapa ? Karena monyet pun bisa cari uang.

Dan saya punya harapan, bahwa di negeri ini akan lahir banyak orang-orang sukses. Yaitu orang-orang yang menganggap bahwa sukses bukan sekedar hak, yang bisa mereka tuntut dari orang atau pihak lain. Mereka lah orang-orang generasi mandiri, yang menganggap bahwa sukses adalah kewajiban dalam hidup, seperti kewajiban beribadah kepada Tuhan. Dan bagi orang seperti mereka, sukses ditentukan oleh dua pihak, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri ! Bagaimana dengan anda ?

Save the Best for Last

Di atas piring nasi jatah makan siang anda, ada sejumput nasi, sayur bayam, sepotong tempe, sekerat daging rendang dan beberapa keping kerupuk udang. Kira-kira, jenis makanan apa yang paling akhir anda nikmati?

Mungkin di antara menu makan siang itu, ada makanan yang anda tidak suka, dan oleh sebab itu, tidak anda santap sama sekali. Tapi yang hampir pasti terjadi, jenis makanan yang paling enak menurut anda, adalah makanan yang paling akhir anda santap. Sesuap demi sesuap, semua jenis makanan itu mulai anda santap. Sampai akhirnya, yang terakhir anda habiskan adalah potongan terakhir dari jenis makanan yang anda paling sukai, entah itu daging, tempe, sayur bayam atau kerupuk udang. Betapa nikmatnya menikmati suapan terakhir, sekalipun ada kemungkinan potongan jenis makanan yang anda sisakan, tidak berhasil anda nikmati kelezatannya akibat terjatuh atau diambil orang lain, anak atau istri anda.

Pengalaman makan seperti di atas, sangat paralel dengan perilaku para orang-orang sukses. Mereka mentransfer perilaku makan mereka ke dalam skala yang lebih besar lagi. Bukan hanya sekedar pengalaman makan, tetapi pada kehidupan secara keseluruhan. Mereka sering merelakan diri untuk menikmati pekerjaan yang berat, kegagalan dalam banyak tindakan, menyisakan sebagian besar penghasilan untuk masa depan, bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan, menelusuri perjalanan yang menanjak dan penuh onak. Hanya dengan satu tujuan, suatu saat mereka bisa merasakan kenikmatan hasil kerja keras mereka. Save the best for last. Menyisakan yang terbaik untuk dinikmati paling akhir.

Orang gagal, berperilaku sebaliknya. Mereka menikmati kesenangan di awal karirnya, sehingga di sisa umurnya, mereka dipaksa oleh kehidupan untuk menikmati kegetiran. Terkadang, mereka harus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak mereka kerjakan. Berapapun besarnya gaji, habiskan. Kalau ada waktu luang, hamburkan. Karir yang cenderung tetap, dilewati oleh orang-orang yang lebih muda, uang pensiun yang rendah, himpitan kebutuhan hidup yang semakin mencekik adalah sebagian akibat yang harus dihadapi oleh orang-orang yang memilih menikmati kehidupan lebih dini.

Karunia terbesar dari Allah untuk manusia, adalah kemampuannya untuk menentukan pilihan. Saat ini anda boleh memilih. Mau jadi orang sukses, atau orang gagal. Anda sendiri yang memilih, karena anda yang akan menjalani hidup, dan akan menikmati hasilnya kelak. Wallaahu A’lam.

Kamis, Juni 26, 2008

Sekolah Para Monyet (Part III)

Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, dalam sebuah acara wisuda di salah satu Perguruan Tinggi di Amerika Serikat, berpesan kepada para wisudawan dengan kalimat yang menyentak. “Teruslah lapar. Teruslah bodoh.” Di Indonesia, guru bisnis saya, pak Bambang Mustari (kita lebih familiar memanggilnya Oom Bob Sadino) berkali-kali mengatakan bahwa kalau anda mau jadi pengusaha, anda harus bodoh dahulu.

Dua pentolan bisnis di atas bisa jadi tidak salah. Hanya orang bodoh yang masih mungkin punya minat belajar. Orang-orang pintar, dan merasa cukup dengan kepintarannya, biasanya sudah tidak mau belajar lagi. Mereka enggan melakukan hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan tingkat kepintarannya. Mereka tidak mau melakukan hal-hal yang semestinya dilakukan oleh sebuah usaha baru. Sekolah sudah mendidik mereka untuk memilih jalur cepat dalam segala hal, termasuk dalam berwirausaha. Dan sekolah-sekolah wirausaha yang ada, mayoritas dihuni oleh jenis orang pintar seperti ini. Itu sebabnya, angka keberhasilannya sangat rendah.

Seorang alumni Institut Kemandirian, yang tidak pernah lulus SD, pernah menyatakan minatnya untuk belajar berbicara di depan publik. Ini penting baginya untuk mempresentasikan usahanya kepada orang banyak. Kendala yang dihadapi, adalah rasa percaya diri yang rendah, dan seringkali gugup ketika bertemu orang lain. Sudah menjadi kebiasaan kami, untuk menggunakan cara-cara yang tidak umum. Untuknya, saya perintahkan padanya untuk mencukur kumis. Bukan seluruhnya, tetapi hanya separuh.

Saya yakin, orang-orang pintar tidak akan mau melakukannya. Mereka lebih suka bersembunyi di balik aneka alasan, misalnya malu, gengsi dan sebagainya. Dan sebagainya. Acungan jempol harus saya arahkan kepada alumni IK yang satu ini. Ia berani melakukannya di depan para siswa yang masih belajar di IK.

Bukan itu saja. Saya perintahkan padanya untuk tidak mencukur kumisnya (yang masih tersisa) selama satu minggu. Selain itu, ia kami minta untuk sesering mungkin bertemu orang banyak, entah itu di dalam bus kota atau di mal. Dan, perintah itupun dilakukannya tanpa banyak tanya. Ia melakukannya seperti saya mengisi kolam di rumah guru mengaji ketika kecil dahulu.

Selang satu minggu, ia datang lagi. Satu alat cukur baru sudah tersedia untuk mencukur sisa kumisnya. Satu pertanyaan kami ajukan padanya. “Adakah komentar orang lain ketika melihat kumismu hanya sebelah ?” Ia menjawab dengan kalimat yang sudah kami duga sejak awal. “Tidak ada komentar pak. Mereka seolah tidak peduli dengan kumis saya.”

“Apakah pembicaraan kamu ditanggapi ?”

“Ditanggapi pak. Waktu saya tawarkan selembar brosur usaha saya, mereka kebanyakan mau membacanya. Bahkan seminggu ini ada tiga calon mitra usaha yang tertarik.”

Pembicaraan itu kami tutup dengan satu kesimpulan. Seringkali orang tidak peduli dengan ganteng tidaknya wajah anda. Mereka lebih peduli dengan apa yang anda tawarkan. Kalau demikian, nggak perlu malu dengan wajah ’ndeso. Fokuslah pada isi pembicaraan. Dan kesimpulan itu membuatnya lebih percaya diri. Kini, ia dengan nyaman bisa berbicara di depan publik, nyaris tanpa hambatan. Uniknya, kebanyakan audiensnya adalah orang-orang pintar bergelar sarjana S1, S2, S3 bahkan profesor.

Ini memang kesimpulan sementara. Sebuah sekolah, termasuk juga sekolah wirausaha, membutuhkan dua hal. Dari sisi seorang guru, dibutuhkan kesabaran dan kebijakan dalam memberikan tugas atau perintah kepada muridnya. Tidak ada perintah dengan maksud ’ngerjain’. Dari sisi seorang murid, setidaknya ia bersedia menerima dan melaksanakan perintah gurunya dengan disiplin dan penuh tanggung jawab, untuk kepentingannya sendiri. Kesabaran dan kebijakan seorang guru, bersinergi dengan disiplin dan tanggung jawab seorang murid, memperbesar peluang keberhasilan sebuah proses pembelajaran. Sekolah monyet di Surat Thani dan Prajamusti, atau sekolah manusia di Institut Kemandirian, sedikit banyak sudah membuktikannya.


Minggu, Juni 22, 2008

Sekolah Para Monyet (Part II)

Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah jelasnya tujuan. Setiap siswa di sekolah monyet memang tidak tahu untuk apa mereka disekolahkan. Para induk semang merekalah yang tahu persis, kompetensi seperti apa yang diinginkan. Di Surat Thani, para siswa diharapkan untuk bisa memilih dan memetik buah kelapa yang sudah masak dalam jumlah tertentu pada satuan waktu tertentu. Di Prajamusti, setiap alumni dipastikan mampu memainkan peran sebagai pengemudi sepeda motor, pedagang di pasar, berdandan dan sebagainya.

Saya dibesarkan dalam kultur Betawi yang sangat kental, dimana nilai-nilai penghormatan terhadap guru merupakan hal yang sangat sakral. Titah guru pantang dibantah. Itu sebabnya ketika kecil, saya, juga teman-teman lain, secara sukarela mengisi bak kamar mandi di rumah guru mengaji kami, sebelum belajar mengaji. Mungkin hal itu yang membuat nilai penghormatan saya kepada setiap guru yang pernah memberikan pelajaran menjadi demikian tinggi. Bagi saya pribadi, tidak ada bekas guru.

Ketika liburan kuliah dahulu, saya pernah menyempatkan diri untuk nyantri di sebuah pesantren di daerah Bangkalan Madura. Di sana, agaknya pimpinan pondok cukup paham tentang apa yang saya pelajari dalam kuliah. Dalam keseharian, saya hanya diminta untuk 'ngurusi' sapi-sapi milik pondok. Boleh dikata, dalam waktu satu bulan nyantri, hanya sedikit waktu yang saya isi dengan mengaji. Hanya waktu antara Maghrib dan Isya yang diisi dengan mengaji. Itu pun tidak penuh karena pak Kiai rajin memenuhi panggilan pengajian.

Pernah terlintas dalam pikiran, untuk apa 'ngurusi' sapi di pesantren ? Ke sini kan mau belajar agama lebih dalam ? Kalau cuma mau ngurusi sapi, di kampus juga banyak ......

Tapi begitulah. Klausul awal saya nyantri di situ adalah menerima apapun yang diberikan oleh pak Kiai. Dan itu harus saya patuhi, atau saya angkat kaki. Dan saya memilih untuk terus ngurusi sapi. Sampai akhir masa pendidikan, saya tidak banyak belajar. Saya hanya dapat satu ayat yang sampai sekarang masih saya hafal. Hanya satu ayat. Ayat itu berarti : Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka baginya jalan keluar (dari berbagai masalah). Dan Allah akan melimpahkannya dengan rejeki dari tempat yang tidak disangka-sangka (Ath-Thalaaq : 2-3).

Setelah belasan tahun ilmu satu ayat itu terlupakan, suatu ketika saya seperti disadarkan. Dan setelah saya amalkan, alhamdulillah, boleh dikata, apa yang saya inginkan sejak saya kuliah dahulu, hanya tinggal satu atau dua saja yang belum terkabul. yang lainnya, bukan hanya terkabul, tetapi melebihi apa yang saya inginkan. Dan saya yakin, dengan seluruh keyakinan yang ada pada diri saya, semua itu saya dapat karena izinNya melalui kepatuhan sepenuhnya kepada sang guru.

Soal disiplin dan tujuan, sekolah monyet dengan sekolah wirausaha (di Institut kemandirian) nyaris tidak berbeda. Keduanya sekolah itu memiliki pola disiplin yang cukup ketat, sekaligus tujuan yang jelas. Sekolah monyet bertujuan untuk mencetak para monyet menjadi terampil memetik kelapa atau bermain topeng monyet. Institut Kemandirian bertujuan untuk mencetak manusia-manusia bermental mandiri.

Satu faktor utama yang membedakan sekolah monyet dengan sekolah-sekolah wirausaha di Indonesia pada umumnya, adalah soal hubungan antara guru dan siswa. Di sekolah wirausaha yang ada, para siswa bebas menentukan sendiri, apakah ia akan mengikuti saran dari gurunya, atau menolaknya. Tidak ada kekuatan paksa dari guru kepada siswanya. Di sisi lain, ketika siswa diizinkan memilih, biasanya mereka memilih cara yang paling mudah baginya. Sayangnya, ketika ia memilih cara yang mudah sekaligus menyenangkan, kemungkinan gagalnya lebih besar. Hasilnya bisa diduga. Di sekolah wirausaha manapun di tanah air, angka kegagalannya masih di atas 50 persen.

Kalau boleh disebut, sekolah yang hampir mirip dengan sekolah di Surat Thani atau Prajamusti hanyalah sekolah polisi atau sekolah militer. Pola sekolah terakhir, sering ditiru oleh lembaga lain, misalnya STPDN. Sayangnya, sekolah-sekolah seperti ini sering dicurigai melanggar HAM. Bukan tanpa sebab. Korban luka dan meninggal sudah banyak berjatuhan. Kita semua tahu, apa yang penyebabnya. Dan kita tidak berkehendak untuk menambah panjang daftar korban tak berdosa.