Dalam perjalanan pulang dari Medan, saya berkenalan dengan seorang ibu yang usianya sudah cukup lanjut. Dalam perkiraan saya, umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Tujuannya ke Jakarta, kemudian pindah pesawat menuju Denpasar dan berakhir di Melbourne, Australia. Beliau ingin menghadiri wisuda anaknya di Melbourne University.
Tentu saja banyak pertanyaan di hati saya. Seharusnya, beliau tidak berangkat sendiri. Kemana suaminya? Tega sekali membiarkan istrinya pergi sendirian ke luar negeri. Kemana juga anak-anaknya? Betapa teganya membiarkan seorang ibu yang sudah tidak muda lagi, ke luar negeri tanpa ditemani. Seperti mengetahui apa yang saya pikirkan, beliau bercerita panjang lebar tentang kisah kehidupannya.
Beliau adalah ibu dari tujuh orang anak. Sekeluarga, mereka tinggal di Simalungun, Sumatera Utara. Tempat tinggalnya, sebuah rumah sempit, yang disesaki oleh delapan manusia. Yang sekolah di Australia, adalah anak bungsunya. Suaminya meninggal dunia, ketika anak-anaknya masih kecil. yang tertua baru berumur 11 tahun. Beliau membesarkan anak-anaknya dalam kondisi sulit. Dan, beliau adalah salah satu orang beruntung yang pernah saya temui. 6 dari tujuh anaknya, adalah sarjana. Yang bungsu, sudah MBA dari Melbourne University. Anak kedua, seorang dokter spesialis bedah, sekaligus salah satu pejabat di lingkungan Pemda Sumatera Utara. Anak pertama tidak sarjana. Si sulung, berprofesi sebagai petani. Anak-anak yang lain, tidak terlalu jelas diceritakan, tetapi yang pasti, mereka semua sarjana. Ada sarjana teknik sipil, ada yang perminyakan. Intinya, beliau bisa disebut sebagai orang yang sukses mendidik anak-anaknya.
Ada satu pertanyaan nakal yang saya ajukan. Mendengar cerita itu, saya menebak bahwa beliau begitu bangga dengan keberhasilan anak-anaknya. Dan dugaan saya, anak yang paling beliau banggakan adalah anak kedua. Seorang dokter bedah sekaligus pejabat di pemerintahan.
Beliau menggeleng. Bukan, katanya. Anak yang paling beliau banggakan justru anak pertama, yang sampai kini masih jadi petani di Simalungun sana. Mengapa? Karena atas pengorbanan anak sulung inilah, anak kedua sampai ketujuh bisa sekolah tinggi. Biaya sekolah mereka, sebagian besar berasal dari jerih payahnya sebagai petani. Kalau saja si sulung tidak berkorban, meninggalkan bangku sekolah dan memilih bekerja sebagai petani setelah sang ayah meninggal, bisa jadi kehidupan kami sekarang tidak bergeser jauh dari kondisi dahulu, kenang beliau.
* * * * *
Di Padang, saya mendapatkan cerita yang nyaris serupa. Bedanya, saya mendengarnya bukan dari tangan pertama. Saya mendengarnya dari bapak Basril Djabbar, Pemimpin Umum harian Singgalang Padang. Beliau adalah orang ketiga dari 'dinasti' Djabbar yang saya kenal. Yang pertama, almarhum Hamid Djabbar, sastrawan yang lumayan kondang di tanah air. Beliau adalah salah satu guru saya dalam menulis. Djabbar kedua adalah Rahim Djabbar. Djabbar yang ini, adalah guru saya, yang kemudian menuntun saya belajar ilmu perdagangan internasional. Atas rekomendasi beliau, dan bantuan ibu Ratna Juwita, istrinya, saya berangkat ke Australia untuk belajar lagi.
Bas adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya pergi meninggalkan tujuh bersaudara itu, ketika mereka semua masih kecil-kecil. Untuk menyambung kehidupan mereka sekeluarga, sang ibu menjadi buruh cuci bagi para tetangga mereka. Hasilnya, seringkali hanya cukup untuk membeli seliter beras yang kemudian dimasak menjadi nasi. Nyaris tanpa lauk sama sekali. Sedikit merica dan garam kadang ditambahkan sebagai penambah rasa.
Bas, sebagai anak tertua, merasa terpanggil untuk mengambil tanggung jawab atas kelangsungan hidup sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya. Usianya baru 12 tahun ketika itu. Tanpa izin ibunya, ia pergi ke terminal Pariaman, kota tempat tinggalnya. Tujuannya pasti. Pakan Baru. Dari selentingan kabar yang ia dengar dari para tentangganya, Pakan Baru adalah tempat di mana ia bisa mengubah nasib. Cuma satu kendala yang ia jumpai di terminal. Ia sama sekali tidak punya uang untuk membayar ongkos bus.
Dengan sisa keberanian yang dimilikinya, ia naik ke atas bus. Badannya yang kecil, memungkinkannya bersembunyi di bawah kursi bus. Beruntung, bus berangkat tanpa menunggu penuh.
Beberapa waktu, ia aman di atas bus. Sampai akhirnya, kondektur bus itu menemukannya menekuk badan di bawah kursi. terpaksa ia keluar, dan menghadapi caci-maki dan omelan sang kondektur. Puas mengomel, ujung-ujungnya sang kondektur iba melihatnya. Ia pun terus dibawa sampai ke Pakan Baru dengan satu syarat. Ongkos bus harus dibayarnya dengan mencuci bus itu sesampainya di Pakan Baru.
Puas dengan hasil kerja Bas, sopir dan kondektur itu merekomendasikan Bas sebagai pencuci mobil di pangkalan bus. Ia pun menerima upah ala kadarnya dari para sopir atau kondektur bus yang dicucinya. Ia bisa makan dari uang itu, sekaligus menyisihkan sejumlah uang untuk dikirim ke keluarganya. Menurut perhitungannya, uang yang dikumpulkan bisa membeli sekarung beras, yang cukup untuk menunjang hidup keluarganya selama 2 sampai 3 bulan.
Selalu saja ada masalah. Ia tidak tahu, bagaimana mengirim uang ke Pariaman. Ia tidak berpikir untuk pulang ke Pariaman, karena hal itu justru menguras uang yang bisa digunakan untuk yang lebih bermanfaat. Akhirnya ia datang ke sebuah pasar. Berkali-kali bertanya pada banyak orang, sampai akhirnya ia bertemu dengan salah seorang pedagang yang berasal dari Pariaman. Merasa telah menemukan orang yang dicarinya, ia menyerahkan uang yang dimilikinya pada orang itu, untuk dikirim ke ibunya di Pariaman.
Alhamdulillah, ia menemukan orang yang baik. Uang sampai ke ibunya di Pariaman. Ia terus bekerja sebagai pencuci mobil. Mengumpulkan uang hasil kerjanya, dan mengirimkan sebagian untuk ibu dan adik-adiknya. Sebagian lagi, digunakan untuk beralih usaha. Ia pernah jadi loper koran, menjadi calo jual-beli mobil, sampai akhirnya mempunyai usaha yang mapan sebagai pemilik showroom mobil. Hari ini, anak kecil berusia 12 tahun itu sudah bermetamorfosis menjadi H Basrizal Koto, salah satu saudagar besar di Sumatera Barat. Walaupun saya tidak pernah bertemu dengan ibu beliau, saya yakin, sang ibu pasti bangga pada anaknya.
Pembaca, apa yang sudah kita lakukan untuk membuat orang tua kita bangga?
Senin, Juli 28, 2008
Buat Mereka Bangga ...
Success is Our Obligation
Seorang kawan mengirimkan sebuah film dokumenter berjudul The New Rulers of The World. Di film yang kualitas gambarnya kurang baik itu, saya mendapatkan beberapa fakta mengenaskan. Sang Produser, John Pilger, menemukan bahwa sepotong celana pendek buatan Indonesia dijual di sebuah supermarket di Inggris dengan harga banderol Rp. 112.000,- Sepasang sepatu merk terkenal made in Indonesia, dilabeli harga Rp. 1,4 juta di supermarket yang sama. Bangga juga, karya bangsa sendiri bias dijual di negeri lain. Harganya tinggi pula.
Save the Best for Last
Mungkin di antara menu makan siang itu, ada makanan yang anda tidak suka, dan oleh sebab itu, tidak anda santap sama sekali. Tapi yang hampir pasti terjadi, jenis makanan yang paling enak menurut anda, adalah makanan yang paling akhir anda santap. Sesuap demi sesuap, semua jenis makanan itu mulai anda santap. Sampai akhirnya, yang terakhir anda habiskan adalah potongan terakhir dari jenis makanan yang anda paling sukai, entah itu daging, tempe, sayur bayam atau kerupuk udang. Betapa nikmatnya menikmati suapan terakhir, sekalipun ada kemungkinan potongan jenis makanan yang anda sisakan, tidak berhasil anda nikmati kelezatannya akibat terjatuh atau diambil orang lain, anak atau istri anda.
Pengalaman makan seperti di atas, sangat paralel dengan perilaku para orang-orang sukses. Mereka mentransfer perilaku makan mereka ke dalam skala yang lebih besar lagi. Bukan hanya sekedar pengalaman makan, tetapi pada kehidupan secara keseluruhan. Mereka sering merelakan diri untuk menikmati pekerjaan yang berat, kegagalan dalam banyak tindakan, menyisakan sebagian besar penghasilan untuk masa depan, bertemu dengan orang-orang yang menyebalkan, menelusuri perjalanan yang menanjak dan penuh onak. Hanya dengan satu tujuan, suatu saat mereka bisa merasakan kenikmatan hasil kerja keras mereka. Save the best for last. Menyisakan yang terbaik untuk dinikmati paling akhir.
Orang gagal, berperilaku sebaliknya. Mereka menikmati kesenangan di awal karirnya, sehingga di sisa umurnya, mereka dipaksa oleh kehidupan untuk menikmati kegetiran. Terkadang, mereka harus melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak mereka kerjakan. Berapapun besarnya gaji, habiskan. Kalau ada waktu luang, hamburkan. Karir yang cenderung tetap, dilewati oleh orang-orang yang lebih muda, uang pensiun yang rendah, himpitan kebutuhan hidup yang semakin mencekik adalah sebagian akibat yang harus dihadapi oleh orang-orang yang memilih menikmati kehidupan lebih dini.
Karunia terbesar dari Allah untuk manusia, adalah kemampuannya untuk menentukan pilihan. Saat ini anda boleh memilih. Mau jadi orang sukses, atau orang gagal. Anda sendiri yang memilih, karena anda yang akan menjalani hidup, dan akan menikmati hasilnya kelak. Wallaahu A’lam.